Anak Sulung
“Anak
sulung”, begitulah julukan untuk seorang anak pertama dalam keluarga. Katanya, kehadiran
anak sulung itu adalah ketenangan bagi sebuah keluarga yang telah dianugerahkan
oleh Tuhan. Anak pertama itu menerima banyak cinta dari ayah dan ibunya. Bahkan
tak jarang, seorang anak pertama sangat dekat dengan nenek dan kakakenya.
Menerima luapan kasih sayang tanpa batas dari orang terdekatnya.
Masa
kecil seorang sulung penuh dengan cerita. Anak sulung bisa saja mengungkapkan
sesuatu sambil tersedu kepada ayah dan ibu. Akan sangat mudah berkeluh kesah
tentang hari sulit yang dilewati kepada orang tuanya. Cerita lucu dan
menyenangkan diceritakan secara panjang lebar pada ayah dan ibu. Saat itu, seorang
anak sulung merasa seluruh perhatian ayah dan ibu hanya berfokus padanya. Terlihat
dari mata mereka yang berbinar saat mendengarkan cerita dari anaknya menandakan
bahwa mereka tak sabar akan cerita yang sebentar lagi akan diceritakan.
Tapi
semakin tumbuh besar, rasa antusias mereka kepada sulung tak seperti dulu. Dan
rasanya seorang anak sulung juga mulai tak seluwes dulu menceritakan banyak hal
pada ayah dan ibu. Mulai terlihat batasan dan sekat yang memisahkan dengan
jarak. Perasaan hangat yang dulu terasa kemudian sedikit demi sedikit memudar.
Dari kejauhan seorang sulung hanya melihat mata berbinar yang dulu mengarah
padanya, kini teralihkan menuju ke adik kecil. Semua sulung pasti merasakanya, rasa
telah berganti posisi dan berbagi tempat untuk adik kian terasa. Mungkin ada
sedikit rasa iri dan pilih kasih, tapi tak mengapa, memang sudah saatnya
mengakui bahwa kini saat untuk adik yang merasakan apa yang pernah sulung
rasakan dulu.
Bukan
masalah besar untuk berbagi posisi dengan adik, itu hanya soal waktu yang akan
melatih agar terbiasa. Ada sebuah persoalan yang lebih berat porsinya daripada
hanya memikirkan tentang posisi dan kasih sayang. Yaitu sebuah pengharapan.
Mata berbinar karena penasaran akan cerita sulung dulu, kini telah berubah
menjadi mata dengan tatapan akan harapan. Tak lagi hanya dua pasang mata yang
melihat ke arah sulung, pasangan mata dari adik-adik yang melihat panutannya
untuk kemudian berharap dituntun mengarungi jalan hidup.
Seringkali
menjadi anak sulung, jalan hidupnya telah ditetapkan oleh seluruh ekspetasi
keluarga. Sepertinya jarang sekali bisa memilih apa yang diinginkan oleh hati
ini. Terlalu sering diberikan wejangan tentang sebuah kesuksesan, yang justru
membuat kepala hanya menunduk, dan bahu semakin jatuh. Terlalu sering diiming-imingi
pilihan, yang padahal sebenarnya hasilnya telah ada tanpa harus memilih. Merasa
seperti hanya berhak untuk sebuah tanggung jawab.
Rasa
tanggung jawab kemudian membelenggu seluruh tubuh seorang anak pertama. Doktrin
umum yang berkata “Seorang sulung adalah punggung yang akan menjunjung nama
keluarganya” semakin melekat hingga mencekam kaki saat berjalan. Yang terlihat
hanya dinding yang mengisyaratkan bahwa langkah sangat sempit untuk bergerak,
namun dipaksa berjalan seluas seluasnya.
Berat?
sudah pasti, tapi itu jalan terbaik yang terlukiskan untuk seorang anak yang
bergelar sulung. Semut kecil berjalan di tengah makhluk besar yang ukurannya
beribu, ratusan ribu, bahkan jutaan kali lipat dari tubuhnya. Ancaman terpijak
dan dibunuh berdatangan dari arah manapun. Tapi itu semua bukan penghalang
baginya untuk melanjutkan hidup. Terus berjalan dan mengangkat beban yang lebih
berat dari tubuhnya, itu semua demi keluarga dan koloninya. Semut tak pernah
mengeluh untuk semua yang menjadi ketetapan terhadapnya.
Belajar
dari seekor semut, lihatlah diri sendiri dengan sudut pandang yang berbeda. Menjadi
anak sulung itu bukan sebuah kutukan dan bukan pula sebuah hukuman. Tapi
menjadi anak sulung adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi seorang
pemimpin yang akan memimpin dirinya sendiri dan adik kecilnya. Kesempatan untuk
menjadi pelita di tengah kegelapan bagi keluarganya. Harapan yang semua orang
gantungkan pada seorang sulung, itu semua karena adanya rasa percaya yang telah
tumbuh beralasankan bahwa Tuhan menjadikan anak sulung sebagai perantara untuk
mewujudkan segala harapan. Seorang anak sulung, akan selalu mengarungi samudera
masalah dan berperahukan ketidaknyamanan, namun anak sulung akan dengan bangga menyelimutkan
kenyamanan untuk adik-adiknya yang mana inilah bayaran yang telah dinantikan
anak sulung.
Mungkin
hari-hari akan berlalu dengan semakin berat. Dan bahkan, bukan tidak mungkin di
suatu titik, rasa ingin menyerah dengan segalan beban dan tuntutan yang disematkan
pada bahu seorang sulung. Tapi ada yang harus terus diingat, kata “menyerah” adalah
kata yang tak akan pernah muncul dalam kamus seorang anak sulung, karena saat
ini adik-adik yang sedang menatap sedang menanti kabar bahagia dari kakaknya
ketika pulang. Saat ini juga orang tua sedang menadah tangan dan menyebut nama
anak tertua mereka dalam doanya. Anak sulung adalah pembuka jalan untuk semua
hambatan, karena anak sulung telah dipersiapkan dengan sebuah kekuatan untuk
menghancurkan tembok tinggi itu.
Yakinkan
diri, jika tulang anak sulung itu akan lebih kuat dari intan. Tulang yang
melekat di tubuh itu akan sanggup menahan beban yang saat ini sedang dipikul.
Tuhan tak pernah salah dalam meletakkan sesuatu, karena perhitungan Tuhan akan
selalu tepat untuk menetapkan segala porsi.
Tetaplah
menikmati hidup walaupun nama “Sulung” mendampingi perjalanan. Beristirahatlah sejenak
saat rasa lelah menghampiri, karena pada dasarnya semua anak sulung
tetaplah manusia biasa yang berhak untuk itu. Setelah selesai beristirahat,
segeralah mulai perjalanan dengan optimis dan semangat untuk kembali meniti
harapan yang menjadi tujuan.
Komentar
Posting Komentar